Spotlight

Lentera Cerita Timbulsloko: Cahaya Kecil di Tengah Lautan Rob yang Tak Pernah Surut

Redaksi Kasatmata
×

Lentera Cerita Timbulsloko: Cahaya Kecil di Tengah Lautan Rob yang Tak Pernah Surut

Sebarkan artikel ini
lentera cerita demak
Gelaran Lentera Cerita di Dusun TImbulsloko, Kel. Sayung, Kab. Demak, Jawa Tengah

Alam di sekitar Timbulsloko adalah cermin dari luka yang ditinggalkan oleh waktu dan kelalaian manusia. Rob yang menenggelamkan jalan, rumah, dan sawah menjadi tanda betapa rapuhnya ekologi pesisir jika tak dijaga. Namun di balik kerentanan itu, selalu ada harapan: manusia dan alam bisa kembali berdamai, asalkan kepedulian menjadi langkah bersama.”

Potret Sebuah Dusun yang Perlahan Hilang

Di pesisir utara Kabupaten Demak, berdiri sebuah dusun yang kini namanya lebih sering disebut dalam berita bencana ketimbang peta pertanian. Dusun Timbulsloko, bagian dari Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, seolah menjadi saksi bisu bagaimana air laut secara perlahan menelan daratan.

Lokasinya berbatasan langsung dengan Laut Jawa sebuah posisi geografis yang dulu menjadi berkah karena kedekatan dengan sumber laut, kini justru menjelma menjadi ancaman.

Desa Timbulsloko sendiri tercatat memiliki 4 dusun, 7 RW, dan 27 RT. Luasan wilayahnya sekitar 4,61 km², atau hampir 6 persen dari total Kecamatan Sayung.

Namun angka itu kini kian menipis, bukan karena perhitungan yang salah, melainkan karena daratan yang terus menyusut, digantikan badan air dan tambak yang berubah menjadi genangan rob permanen.

Menurut data resmi BPS Demak 2024, jumlah penduduk Kecamatan Sayung mencapai 107.555 jiwa. Sementara Desa Timbulsloko pada 2022 memiliki 3.540 jiwa. Namun, khusus di Dusun Timbulsloko, kondisi demografi sangat berbeda.

Tokoh masyarakat, Shobirin, menyebut kini hanya ada sekitar 100 kepala keluarga (KK) yang tersisa, dan dari jumlah itu pun hanya 85 KK yang bertahan. Sisanya telah menyerah pada ganasnya rob, memilih pindah ke tempat lain yang lebih aman.

“Dulu sawah ada, ladang ada. Sekarang semua air. Tinggal rumah seadanya yang kami tinggali,” tutur Shobirin lirih.

dusun timbulsloko yang jadi lautan
Dusun Timbulsloko yang dulunya area pertanian kini berubah jadi lautan

Ekologi yang Runtuh

Kerusakan ekologi di pesisir Sayung, termasuk Dusun Timbulsloko, bukanlah bencana yang datang tiba-tiba. Ia adalah hasil dari kombinasi panjang: penurunan muka tanah, abrasi, intrusi air laut, dan pembangunan industri di kawasan pesisir Semarang–Demak. Tanah yang lembek dan tidak stabil dipaksa menopang bangunan industri, sementara hutan mangrove yang dulunya menjadi benteng alami semakin berkurang.

Hasilnya jelas: permukaan tanah turun, air laut dengan mudah masuk, dan genangan rob terjadi semakin lama, semakin parah. Jika dahulu air hanya masuk sesekali, kini hampir setiap hari air laut naik selama 6 jam, menenggelamkan jalan, tambak, bahkan pekarangan rumah.

Lahan yang dulunya tambak pun kini banyak berubah menjadi kolam genangan. Data tahun 2010–2017 mencatat perubahan signifikan: tambak produktif beralih menjadi genangan air tak berguna. Produktivitas ikan menurun, hasil pertanian hilang sama sekali, dan warga kehilangan tumpuan ekonomi.

Permukiman di Dusun Timbulsloko bisa digambarkan sebagai sebuah kawasan yang “bertahan sekadar bertahan.” Rumah-rumah sederhana dari anyaman bambu dan atap seng menjadi ciri. Kondisi yang serba lapuk diperparah rob yang setiap saat menggerus pondasi.

Fasilitas umum pun senasib. Masjid dan musholla masih berdiri, namun akses menuju ke sana kadang harus melewati jalan kayu atau perahu kecil. Toko-toko dan warung ada, tapi persediaannya terbatas. Infrastruktur dasar lain bahkan lebih mengenaskan:

  1. Jalan: akses darat dari Dusun Bogorame ke Timbulsloko terputus akibat rob. Warga mengandalkan susunan kayu atau perahu.
  2. Air bersih: sumur artesis menghasilkan air asin. Banyak warga mengandalkan air hujan untuk kebutuhan harian, dan membeli air galon untuk minum.
  3. Sanitasi: meski tiap rumah memiliki kamar mandi, tak ada septictank. Limbah dibuang langsung ke tambak.
  4. Sampah: dikelola seadanya, sebagian besar dibuang ke perairan.

Anak-anak Dusun Timbulsloko setiap hari menyeberangi perahu untuk bersekolah. Para orang tua bekerja sebagai buruh industri di kawasan Sayung atau menjadi ojek perahu kecil. Mereka bertahan, meski nyaris semua indikator menunjukkan daerah ini semakin tak layak huni.

anak dusun timbulsloko menatap perahu
Anak-anak dusun Timbulsloko bermain dengan perahu

Rob membuat Dusun Timbulsloko tidak hanya terasing secara geografis, tetapi juga sosial. Jalan darat yang terputus memisahkan mereka dari desa-desa tetangga. Kehidupan sehari-hari seolah “mengapung” di tengah laut, dengan hanya segelintir fasilitas untuk bertahan.

Sosiolog menyebut kondisi ini sebagai ecological displacement pengungsian ekologis. Warga tak pindah ke barak pengungsian, tapi mereka “dipaksa bertahan” di rumah yang dikepung air, dengan konsekuensi hidup yang berat. Dusun ini seperti pulau kecil, dengan 200 jiwa yang berjuang setiap hari melawan laut.

Suara, Harapan, dan Perlawanan di Tengah Genangan

Air pasang kembali datang ketika matahari belum sepenuhnya naik. Di Dusun Timbulsloko, suara riak air yang mengetuk dinding rumah kayu sudah menjadi alarm alami bagi warga. Bagi orang luar, itu pertanda bahaya. Namun bagi mereka yang hidup puluhan tahun di tanah yang terus tenggelam ini, suara itu adalah keseharian yang tak terelakkan.

“Kalau dulu, anak-anak masih bisa main bola di lapangan. Sekarang, jangankan bola, lapangan saja sudah jadi laut kecil,” tutur Pak Sarmin, seorang nelayan yang rumahnya hanya berjarak beberapa langkah dari tambak. Ia duduk di teras rumah panggungnya, menatap kosong ke genangan air yang sudah menutupi jalan setapak.

Rumah panggung kini menjadi pemandangan utama di Timbulsloko. Kayu-kayu panjang menopang lantai, sementara dinding papan menjadi penahan angin laut yang membawa aroma asin. Meski tampak sederhana, setiap rumah itu menyimpan kisah perlawanan.

Ibu Asih, seorang ibu rumah tangga, bercerita sambil menggendong anaknya. “Kami sudah terbiasa hidup dengan air, tapi yang paling berat itu listrik dan sekolah anak. Kalau banjir tinggi, listrik sering padam. Anak-anak harus belajar pakai lampu minyak. Kadang saya sedih, tapi apa daya, kami tak bisa pindah begitu saja.”

Suara-suara seperti Ibu Asih adalah bukti bahwa kehidupan di sini bukan hanya tentang bertahan, melainkan juga tentang menjaga harapan. Harapan bahwa suatu saat, pemerintah atau siapa pun yang berkuasa mau benar-benar mendengar.

ibu-ibu dusun timbulsloko
Nenek itu membantu anaknya merawat cucunya, diberikannya susu tambahan

Sementara itu, jalan aspal yang dulunya menjadi nadi penghubung dusun kini sudah tak bisa dilalui motor atau sepeda. Warga mengubah perahu menjadi sarana transportasi utama. Anak-anak berangkat sekolah naik perahu kecil yang dikayuh oleh orang tua.

Kalau air tinggi, jaraknya terasa jauh sekali. Kadang sampai terlambat masuk sekolah. Tapi saya senang, karena naik perahu jadi seperti petualangan,” ujar Rini, siswi SMP yang setiap pagi menentang ombak kecil hanya untuk bisa sampai ke ruang kelas.

Bagi sebagian orang, cerita ini mungkin romantic anak dusun yang berjuang menuntut ilmu dengan perahu. Tapi bagi orang tua mereka, ini lebih mirip ironi: infrastruktur yang hilang digantikan oleh improvisasi, bukan solusi nyata.

Malam di Timbulsloko sering lebih cepat gelap. Air laut yang pasang membuat listrik tak stabil. Namun di balik itu, warga mencoba menjaga semangat lewat kegiatan keagamaan dan budaya.

Setiap malam Jumat, mushala kecil di tepi dusun dipenuhi jamaah. Lantunan doa, wirid, dan shalawat menjadi penguat jiwa. Begitupun ketika minggu malam, di dusun ini ratusan jamaah mengikuti majelis zikir selawat Burdah yang diampu bapak Shobirin.

“Kami percaya, kalau hati kuat, kami bisa tetap bertahan. Air bisa datang, tapi iman jangan sampai hanyut,” kata Pak Shobirin, tokoh agama setempat.

Anak-anak muda pun tak mau kalah. Mereka sering mengadakan kegiatan  sederhana: pelatihan media sosial, bermain musik dengan alat seadanya, atau sekadar obrolan tentang masa depan dusun. Dari suara mereka, lahirlah gagasan tentang pentingnya mendokumentasikan kisah hidup Timbulsloko. Dari sinilah program Lentera Cerita mendapatkan pijakan.

menikmati seni di dusun timbulsloko
Warga menikmati sajian kesenian oleh Santri Bajingan dan kerja kolektifnya

Perlawanan yang Senyap tapi Tegas

Warga Timbulsloko memang jarang turun ke jalan dengan spanduk protes. Namun perlawanan mereka hadir dalam bentuk lain: bertahan hidup di tempat yang ditinggalkan pembangunan. Dengan tangan mereka sendiri, jembatan kayu dibangun, jalan kecil ditinggikan, dan rumah diperkuat agar tidak mudah roboh diterjang gelombang.

“Kami sudah lama berhenti berharap ada proyek besar. Yang penting sekarang, bagaimana kami bisa hidup bersama kondisi ini,” ucap Pak Hadi, seorang petani tambak yang kini lebih banyak mengandalkan hasil ikan bandeng ketimbang sawah yang sudah tenggelam.

Meski begitu, beberapa warga masih aktif menyuarakan aspirasi ke pemerintah daerah. Mereka mengirim surat, menghadiri pertemuan, bahkan bekerja sama dengan mahasiswa yang melakukan penelitian. Baginya, suara sekecil apa pun bisa menjadi penanda bahwa mereka tidak menyerah.

Selain bertahan secara fisik, warga juga berusaha menjaga jejak budaya. Tradisi sedekah laut, misalnya, tetap dijalankan meski perahu harus berlayar lebih jauh karena batas pantai semakin mundur. Upacara ini menjadi simbol bahwa manusia tidak hanya pasrah, tapi juga ingin berdialog dengan alam.

“Sedekah laut itu bukan hanya ritual, tapi juga bentuk syukur dan permohonan agar laut tetap memberi kehidupan, bukan hanya bencana,” kata Mbah Karyo, sesepuh desa.

Anak-anak muda mendokumentasikan ritual itu dalam bentuk video pendek, foto, dan tulisan. Mereka sadar bahwa suatu saat, mungkin tradisi ini hanya tinggal kenangan jika dusun benar-benar tenggelam.

Suara Anak, Harapan Masa Depan

Jika ada suara paling jujur, mungkin itu berasal dari anak-anak. Ketika ditanya apa cita-cita mereka, jawabannya sederhana tapi menyentuh. Ada yang ingin jadi guru, dokter, bahkan YouTuber.

“Kalau jadi YouTuber, saya bisa kasih tahu orang-orang tentang kampung saya. Biar semua tahu, kita di sini masih hidup,” kata Arif, bocah kelas 5 SD dengan penuh semangat.

Bagi orang dewasa, ucapan itu mungkin terdengar sepele. Tapi sesungguhnya, itu adalah pernyataan perlawanan: menolak untuk dilupakan.

Suara-suara kecil dari Timbulsloko mulai menggema ke luar lewat kerja sama dengan komunitas, aktivis lingkungan, dan media lokal. Program Lentera Cerita menjadi salah satu upaya merekam jejak budaya sekaligus menyuarakan kepedulian sosial.

Liputan, foto, dan kisah warga dipublikasikan agar publik lebih peduli. Tak jarang, mahasiswa dan peneliti datang untuk menulis tentang perubahan iklim, abrasi, dan dampak sosial yang melanda dusun ini.

“Kalau tidak ada yang tahu, kami bisa benar-benar hilang. Tapi kalau ada yang menulis dan menyebarkan cerita kami, setidaknya nama Timbulsloko akan tetap ada,” kata Bu Siti dengan mata berkaca-kaca.

Babak Baru Perlawanan

Kini, perlawanan warga tidak lagi hanya soal bertahan dari genangan, tapi juga memastikan suara mereka masuk ke dalam narasi besar perubahan iklim dan keadilan sosial. Mereka ingin agar dunia tahu, krisis iklim bukan sekadar data di atas kertas, melainkan kenyataan yang menenggelamkan rumah, sekolah, dan sejarah.

Perlawanan itu diwujudkan lewat cerita, harapan, dan upaya menjaga identitas. Dusun yang tenggelam secara perlahan ini ternyata menyimpan pelajaran besar: manusia bisa kalah oleh air, tapi tidak oleh lupa.

kegiatan lentera cerita
Agenda Lentera Cerita dinikmati warga

Suara yang Tersisa dari Desa Hampir Tenggelam: Harapan di Timbulsloko

Perahu-perahu kayu berderet di tepi jalan beton yang terputus air. Anak-anak berlarian di antara genangan, sebagian menenteng cat warna-warni. Sore itu, Minggu (31/8/2025), halaman Masjid Al Ikhlas Desa Timbulsloko mendadak semarak. Bukan karena acara hajatan, melainkan sebuah pertunjukan seni bertajuk Lentera Cerita: Merekam Jejak Budaya dan Kepedulian Sosial Suara Warga di Desa Tenggelam Timbulsloko.

Namun di balik gegap gempita, ada kenyataan pahit yang mengintai: desa ini nyaris hilang ditelan rob. Timbulsloko, bagian dari Kecamatan Sayung, Demak, sejak dua dekade terakhir perlahan tenggelam.

Sawah hilang, jalan darat putus, rumah-rumah terendam, hingga perahu menjadi transportasi utama. Kondisi yang menyingkap wajah kelam krisis iklim, tata ruang yang gagal, dan lemahnya perlindungan negara terhadap wilayah pesisir.

Data pemerintah menyebut, setidaknya sepuluh desa di Kecamatan Sayung bernasib serupa. Abrasi pantai, kenaikan muka air laut, dan penurunan muka tanah mempercepat bencana. Namun Timbulsloko menjadi ikon bukan karena keindahan, melainkan sebagai simbol kehilangan.

“Dulu saya punya sawah, sekarang jadi laut,” ungkap Shobirin, tokoh masyarakat desa.

Matanya berkaca-kaca ketika menyaksikan anak-anak melukis masjid tenggelam bersama perupa Soleh Ibnu.

“Bagi kami, acara ini seperti oase. Sudah lama tidak ada hiburan di kampung yang ditenggelamkan air.”

lukisan masjid tenggelam timbulsloko
Soleh Ibnu melukis masjid tenggelam bersama anak-anak dusun Timbulsloko

Hilangnya sawah berarti hilangnya sumber nafkah. Hilangnya jalan darat berarti terputusnya akses ekonomi. Hilangnya rumah berarti tercerabutnya kenangan masa kecil. Semua itu terjadi pelan-pelan, tanpa teriak sirine, seolah ditelan diam oleh laut.

Gelaran Lentera Cerita diinisiasi komunitas Santri Bajingan bersama LazisMU Jawa Tengah, LTM PWNU, PC ISNU Demak, Pesantren Sastra, dan Suluh Ar-Rosyid. Ratusan warga berjejal di halaman masjid, menyaksikan puisi, monolog, musik, hingga lukisan.

Beno Siang Pamungkas, Ketua Penyelenggara, menyebut acara ini bukan hiburan semata.

“Seni bisa jadi jembatan suara warga pesisir. Mereka yang bertahan di tanah kelahiran mengajarkan kita arti kesabaran dan ketegaran, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan,” ujarnya.

Dari panggung sederhana, nama-nama seniman membacakan puisi: Syarief Rahmadi, Slamet Unggul, Ali Ahmadi, Chotrex Creatio, Agung Wibowo, hingga Maulid Ndalu. Suara mereka menggema, berpadu dengan angin laut. Seolah menyampaikan satu pesan: warga tidak akan menyerah.

band kaukab di dusun timbulsloko
Band Kaukab melantunkan musik andalannya Aqoid Seket dan lagu-lagu perjuangan

Sementara Roely Slamet tampil dengan monolog pedas, menyinggung pejabat yang lihai berjanji namun abai setelah berkuasa. Penonton terdiam, lalu bertepuk tangan, kritik sosial itu terasa begitu nyata.

Sorotan paling menyayat hati datang dari lukisan Soleh Ibnu: masjid tenggelam. Masjid Al Ikhlas, ikon desa, kini berdiri setengah badan di genangan. Anak-anak ikut menorehkan warna di kanvas, melahirkan kebersamaan sekaligus harapan.

Lukisan itu lebih dari karya seni; ia adalah catatan sejarah. Bukti bahwa sebuah desa sedang berjuang melawan lupa. Bahwa tempat ibadah yang seharusnya menjadi pusat kehidupan kini menjadi monumen kehilangan.

“Anak-anak seperti masuk ke dunia lain. Mereka bisa tertawa dan melupakan genangan sejenak,” kata Shobirin.

Keterlibatan LazisMU dan LTM PWNU dalam acara ini menjadi bukti bahwa isu lingkungan tidak bisa dilihat dari sekat ideologi. Direktur LazisMU Jateng, Ikhwanu Shoffa, menyebut seni adalah bahasa universal kemanusiaan.

“Ketika kemanusiaan dicabik ketidakadilan, Sayung menjawab dengan teriakan budaya. Suara keras itu untuk mereka yang selama ini menutup telinga,” tegasnya.

Senada, Lukni Maulana dari Suluh Ar-Rosyid menekankan pentingnya narasi.

“Lentera Cerita bukan sekadar pertunjukan. Ia dokumentasi, ia jembatan agar dunia luar tahu bahwa kerusakan lingkungan bukan angka statistik, tapi tentang manusia yang kehilangan kehidupan,” ujarnya.

Dokumentasi itu digarap serius: Christian Saputro dan Ahmad Norsa memotret wajah warga; Syamsul Ma’arif dan Farid merekam video bersama tim LTM NU; Agus Munif mengarsipkan kisah lewat sesi “Cerita Kampung.” Semua itu untuk memastikan bahwa suara dari desa tenggelam tidak hilang ditelan ombak.

Sore merayap ke malam, musisi Mere Naufal melantunkan lagu pedih tentang warga yang bertahan meski hati terluka. Disusul band Kaukab dengan lagu Aqoid Seket dan musik perjuangan. Suasana berganti, dari haru menjadi semangat.

Mere Naufal
Mere Naufal melantunkan nyanyian yang menyayat hati

Panitia menutup acara dengan membagikan 112 doorprize. Wajah-wajah warga berseri, tawa anak-anak pecah. Namun di balik senyum itu, ancaman nyata tetap menunggu: air laut yang terus naik, tanah yang terus turun, dan negara yang sering tak hadir.

Jika ditelisik, hilangnya desa-desa di pesisir Sayung bukan sekadar bencana alam. Riset akademik menyebut ada kombinasi faktor: eksploitasi air tanah yang berlebihan, reklamasi yang mengubah arus laut, serta lemahnya tata ruang. Semua itu mempercepat abrasi dan rob.

Namun, mengapa desa seperti Timbulsloko dibiarkan berjuang sendiri? Mengapa warga harus menunggu bantuan dari seniman, bukan dari kebijakan negara? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung, tak terjawab di atas panggung Lentera Cerita.

Yang jelas, acara ini menjadi sorotan bahwa warga tidak hanya korban pasif. Mereka masih mampu bersuara, meski dengan media sederhana: puisi, musik, lukisan.

Beno Siang menutup dengan pesan: “Ini aksi kecil. Tapi semoga dari sini lahir kepedulian yang lebih besar.

Kecil, ya. Tapi seperti lentera di tengah gelap, cahaya sekecil apa pun bisa menjadi penuntun. Di desa yang perlahan hilang, suara, harapan, dan perlawanan masih ada.

Timbulsloko mungkin dikenal sebagai desa tenggelam. Tapi sore itu, lewat seni, ia membuktikan masih bisa mengapung setidaknya dalam ingatan, dalam narasi, dan dalam perjuangan yang terus menyala. []