Artikel

Urutan Cobaan Hidup Manusia dari Ringan hingga Berat Menurut Islam

Redaksi Kasatmata
×

Urutan Cobaan Hidup Manusia dari Ringan hingga Berat Menurut Islam

Sebarkan artikel ini
cobaan hidup manusia
Belajar cinta lingkungan lewat tanam mangrove di Surodadi-Sayung, Kab. Demak

Setiap manusia pasti diuji dalam hidupnya, dan Islam menjelaskan bahwa ujian itu adalah bagian dari sunnatullah yang tak terhindarkan.

ARROSYID.OR.ID – Setiap manusia yang hidup di dunia tidak akan luput dari ujian. Dalam Islam, cobaan hidup bukanlah tanda kebencian Allah, tetapi justru bentuk cinta dan cara Allah mengangkat derajat hamba-Nya.

Dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw, disebutkan bahwa cobaan adalah bagian dari sunnatullah kehidupan. Bahkan, para nabi dan orang-orang saleh pun mengalami ujian yang sangat berat. Namun, tidak semua cobaan memiliki bobot yang sama.

Para ulama menjelaskan bahwa terdapat tingkatan atau urutan cobaan dari yang ringan hingga yang berat, tergantung pada tingkat keimanan, tanggung jawab, dan posisi spiritual seseorang.

Cobaan paling ringan dalam kehidupan seorang manusia adalah rasa waswas atau keraguan dan lintasan hati yang mengganggu. Ini merupakan bentuk ujian batiniah yang sering kali datang tanpa disadari.

Allah Swt menyebutkan dalam QS. An-Naas ayat 4–5:

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ ۝٤ الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ ۝٥

Artinya: “Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.

Ini adalah ujian yang tidak tampak secara lahiriah, tetapi dapat menjadi akar dari kemerosotan iman jika tidak diatasi.

Rasulullah Saw bersabda dalam HR. Muslim bahwa bisikan hati yang meragukan keimanan adalah tanda keimanan itu sendiri, selama tidak diikuti.

Para sahabat mengungkapkan kepada Rasulullah ﷺ:

إِنَّا نَجِدُ فِي أَنْفُسِنَا مَا يَتَعَاظَمُ أَحَدُنَا أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ، قَالَ: «وَقَدْ وَجَدْتُمُوهُ؟» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيمَانِ»

“Kami mendapati dalam diri kami lintasan pikiran yang sangat berat bagi kami untuk mengucapkannya.”
Rasulullah ﷺ pun bertanya, “Apakah kalian benar-benar merasakannya?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Maka beliau bersabda: “Itulah bukti keimanan yang nyata.”

Hadits ini menunjukkan bahwa munculnya lintasan pikiran atau bisikan batin yang aneh, menakutkan, bahkan terasa menyimpang dari keimanan, justru merupakan tanda bahwa hati masih hidup dan iman masih ada. Karena seorang mukmin akan merasa gelisah saat ada lintasan buruk dalam benaknya.

Lebih lanjut, Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim:

إنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لأُمَّتِي ما حَدَّثَتْ بِهِ أنْفُسَها ما لَمْ تَتَكَلَّم بِهِ أوْ تَعْمَلْ

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku terhadap apa yang terlintas dalam hati mereka, selama tidak diucapkan dan tidak dikerjakan.”

Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim menukil penjelasan Imam Al-Maziri rahimahullah:

“Zahir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan mereka untuk menepis lintasan-lintasan buruk tersebut dengan cara berpaling dan tidak menghiraukannya, tanpa harus mencari-cari dalil atau membantahnya dengan logika.”

Artinya, bila seorang mukmin merasa terganggu oleh lintasan pikiran buruk, cukup baginya untuk mengabaikannya dan tidak menuruti atau membahasnya secara mendalam. Itu adalah bentuk penjagaan Allah terhadap hati seorang hamba yang beriman.

Contohnya, seseorang merasa ragu apakah salatnya sah atau tidak, padahal dia telah mengikuti semua rukun secara benar. Jika rasa ragu itu dibiarkan dan terus berulang, ia bisa menjadi penyakit hati.

Setelah itu, cobaan naik ke tingkat kehilangan kecil dan gangguan rezeki. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 155:

َلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Ini menunjukkan bahwa ujian berupa harta maupun rezeki yang tidak stabil, kehilangan pekerjaan, atau kerusakan hasil usaha adalah sesuatu yang normal dalam hidup.

Seorang pedagang misalnya, diuji dengan barang dagangan yang rusak sebelum terjual. Atau seorang petani yang kehilangan hasil panen karena bencana. Tujuan dari ujian ini adalah menguji seberapa kuat kesabaran dan tawakal seseorang dalam menyikapi situasi yang tidak ideal.

Cobaan berikutnya adalah ujian sosial yang lebih kompleks, berupa pengkhianatan, fitnah, atau tekanan dari orang lain.

Nabi Muhammad Saw selama hidupnya banyak mengalami tekanan dari keluarga, suku, bahkan masyarakat luas karena menyampaikan kebenaran. Beliau dicaci, diludahi, dilempari batu, bahkan direncanakan untuk dibunuh.

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim mencatat bahwa Rasulullah tetap tenang, sabar, dan tidak membalas kebencian dengan kebencian.

Contohnya bisa kita lihat pada kejadian di Thaif, ketika beliau dilempari batu oleh penduduk, namun tetap mendoakan mereka agar suatu hari mendapatkan hidayah. Ini menunjukkan bahwa ujian sosial adalah sarana melatih keikhlasan dan kesabaran luar biasa.

Tingkatan yang lebih berat adalah cobaan fisik berupa penyakit dan kelemahan tubuh. Dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 83–84, Allah memuji Nabi Ayyub AS karena kesabarannya dalam menghadapi sakit kronis dan penderitaan luar biasa:

وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَۚ ۝٨٣ فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ فَكَشَفْنَا مَا بِهٖ مِنْ ضُرٍّ وَّاٰتَيْنٰهُ اَهْلَهٗ وَمِثْلَهُمْ مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَذِكْرٰى لِلْعٰبِدِيْنَۚ ۝٨٤

Artinya: “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka, Kami mengabulkan (doa)-nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya, Kami mengembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami melipatgandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami dan pengingat bagi semua yang menyembah (Kami).”

Banyak orang diuji dengan penyakit ringan hingga berat, dari sekadar flu yang menghambat aktivitas, hingga kanker yang mengancam nyawa.

Ujian ini sangat terasa karena menyerang langsung fisik dan menguras energi mental. Kesabaran dan doa menjadi senjata utama dalam menghadapi cobaan ini.

Lebih tinggi lagi adalah ujian kehilangan orang-orang terkasih. Ini merupakan bentuk ujian yang mengguncang jiwa, karena menyentuh sisi emosional terdalam manusia.

Nabi Ya’qub As diuji dengan kehilangan Yusuf, sebagaimana disebutkan dalam QS. Yusuf ayat 84:

وَتَوَلّٰى عَنْهُمْ وَقَالَ يٰٓاَسَفٰى عَلٰى يُوْسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنٰهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيْمٌ 

Artinya: “Dan dia berpaling dari mereka dan berkata: ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf’, dan kedua matanya menjadi putih karena sedih.”

Contoh nyata dalam kehidupan kita adalah orang tua yang kehilangan anaknya karena kecelakaan atau penyakit. Duka semacam ini bisa mengikis semangat hidup, namun Allah menjanjikan balasan besar bagi mereka yang mampu bersabar dan tidak menyalahkan takdir.

Selanjutnya adalah ujian iman, yaitu ketika seseorang berada dalam situasi yang memaksanya memilih antara dunia dan nilai agama.

Dalam QS. Al-Buruj ayat 4–10, Allah menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, sekelompok orang beriman yang dibakar hidup-hidup karena mempertahankan tauhid. Ini adalah ujian luar biasa yang hanya dapat dilewati oleh mereka yang memiliki keimanan tinggi.

Dalam kehidupan modern, ujian iman bisa hadir dalam bentuk tekanan untuk berbohong demi keuntungan, menjual prinsip demi popularitas, atau meninggalkan kewajiban agama karena tekanan lingkungan.

Dalam kondisi seperti ini, memilih tetap berpegang pada kebenaran adalah bentuk keberanian iman yang luar biasa.

Namun, ujian yang paling berat dan paling tidak disadari adalah ujian kelapangan hidup, kekuasaan, dan popularitas. Dalam QS. Al-Fajr ayat 15–16 Allah berfirman:

فَاَمَّا الْاِنْسَانُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَكْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَكْرَمَنِۗ ۝١٥ وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗ ەۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِۚ ۝١٦

Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan dan diberi kesenangan, maka dia berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.’”

Kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh bisa membuat seseorang terlena. Banyak orang yang dulunya saleh menjadi lalai setelah mendapat jabatan tinggi.

Inilah ujian istidraj, yakni ketika Allah menangguhkan azab melalui kenikmatan dunia agar seseorang semakin jauh dari kebenaran.

Contohnya, pemimpin yang awalnya adil berubah menjadi zalim karena kekuasaan yang panjang dan tidak diawasi.

Rasulullah Saw bersabda:

Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”

Ini menjadi penegasan bahwa semakin tinggi iman dan kedekatan seseorang kepada Allah, maka semakin besar pula ujian yang akan dihadapinya.

Namun, sebagaimana QS. Al-Baqarah ayat 286 menegaskan:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”

Artinya, tidak ada satu pun cobaan yang melampaui batas kemampuan manusia, selama ia mau berserah diri dan berusaha menghadapinya.

Cobaan adalah jalan Allah untuk membersihkan, meninggikan, dan memperindah jiwa manusia. Dengan mengenali urutan cobaan dari yang ringan sampai yang berat, kita diajak untuk tidak hanya bersabar, tetapi juga bersyukur, mawas diri, dan selalu kembali kepada-Nya. Karena sejatinya, semua cobaan adalah bagian dari kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Dua kalimat utama yang harus diingat: Allah tidak menilai hasil akhir dari ujian kita, tetapi usaha dan sikap kita dalam menjalaninya. Dan, kehidupan ini bukan tempat bersenang-senang, melainkan tempat ujian untuk mempersiapkan kehidupan abadi di akhirat. []